Monday, August 9, 2010

Krisis Toleransi di Indonesia


Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia yang terkenal di dunia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi pluralisme. Terdiri dari beraneka ragam agama, bahasa, budaya, dan suku bangsa. Sehingga apa yang kita miliki dari sabang sampai merauke adalah berbagai macam keanekaragaman yang merupakan kekayaan dari bangsa kita. Namun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, keragaman bukanlah dilihat sebagai kekayaan oleh sebagian besar rakyat indonesia, melainkan sebagai suatu kekurangan dan suatu hal yang harus dihapuskan. 

Meskipun banyak dari masyarakat Indonesia yang mengakui bahwa keragaman budaya adalah suatu warisan yang harus dilestarikan, namun pada kenyataannya hal tersebut tidak lebih dari sesuatu yang kosong. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kerusuhan dan perang antar suku, ras, maupun agama yang terjadi di Indonesia. Seperti contohnya adalah kerusuhan Sampit oleh suku Dayak dan Madura yang menyebabkan jatuhnya banyak korban. Dan tidak kalah sadisnya, perempuan dan anak-anak pun dibantai tanpa belas kasihan. Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi 12 tahun yang lalu juga menggambarkan betapa rendahnya sikap toleransi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Dan masih ada banyak lagi kerusuhan yang terjadi di Indonesia seperti kerusuhan di Poso, Maluku, sampai pengeboman yang terjadi akhir-akhir ini oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Coba bayangkan, betapa diuntungkannya Indonesia apabila masyarakat di Negara ini memiliki rasa tanggung jawab dan sikap saling menghargai satu sama lain. Berapa banyak lapangan kerja yang akan tercipta bila saja Legian Bali tidak dibom? Bali sebagai povinsi yang terkenal akan pariwisatanya akan terus berkembang dengan pesat tanpa kekhawatiran para turis tentang kerusuhan yang akan terjadi. berapa banyak keuntungan yang didapat bila saja MU jadi dating ke Indonesia. Bukan hanya keuntungan dalam bentuk nominal, namun juga terciptanya hubungan yang baik dengan dunia internasional. Dan situasi yang aman dan harmonis akan menarik perhatian para investor-investor asing untuk bebas berinvestasi di Indonesia. Bayangkan betapa majunya Indonesia bila keamanan nasional bisa dipertahankan. Mungkin saja Indonesia sudah bisa bangkit dari keterpurukan dan krisis ekonomi yang membelenggunya sampai saat ini. 

Krisis toleransi ini bukan hanya dimiliki oleh orang tua saja, namun kini krisis ini lebih banyak dimiliki oleh anak-anak muda. Di mana anak-anak muda lebih cenderung labil dan mudah terhasut oleh lingkungan sekitarnya. Dan demo yang dilakukan rutin oleh remaja Tri Sakti adalah suatu contoh yang sangat kongret. Mengapa demo tersebut sebagai suatu contoh krisis toleransi? Karena mereka mengorbankan kepentingan orang banyak untuk kepentingan pribadi. Yang akhirnya mereka berhasil membuat situasi tidak aman, dan merugikan orang lain, namun tidak mendapat simpati dari masyarakat. Dan semua solusi untuk bermacam kerusuhan tersebut adalah berpikir dan berkemauan untuk selalu mencerminkan sikap saling menghargai dan bertoleransi dalam bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 

Namun toleransi itu sendiri bukanlah suatu hal yang mudah untuk diberikan begitu saja kepada seseorang dan lantas orang tersebut menjalankannya. Namun terbentuknya sikap toleransi dalam diri seseorang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan membutuhkan suatu proses yang panjang. Faktor yang paling utama adalah lingkungan baik internal maupun eksternal. Karena di dalam lingkungan ini lah ditentukan baik buruknya seseorang. Sebagai contoh adalah seseorang yang dibesarkan oleh keluarganya sebagai seorang muslim, maka saat dia dewasa, orang tersebut akan menjadi 90% muslim. Begitu pula dengan sikap yang lain. Bila orang tersebut dibesarkan oleh keluarga yang kurang memiliki rasa toleransi terhadap orang-orang di sekitarnya, maka orang tersebut kemungkinan besar akan menjadi orang yang kurang bisa bertoleransi dan menghargai orang lain. Kedua adalah faktor ekonomi orang tersebut. Semakin makmur orang tersebut, maka semakin besar pula kemungkinan orang tersebut dapat bertoleransi. Meskipun tidak semua orang mengalami hal ini, namun kemungkinannya bisa dilihat dari kecemburuan social yang terjadi antara si miskin dan si kaya. Seperti kerusuhan Mei 98 yang terjadi dengan mengkambing hitamkan orang-orang minoritas Tiong–Hoa pun terjadi karena kecemburuan sosial oleh masyarakat pribumi dengan orang-orang Tiong-Hoa yang diyakini mengontrol perekonomian di Indonesia. Dan faktor terakhir yang tidak kalah penting adalah tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar pula rasa toleransi yang dimiliki oleh seseorang. Namun hal ini juga sangat sulit untuk diperoleh karena kurangnya upaya pemerintah dalam pemberian subsidi pendidikan untuk orang-orang yang kurang mampu. Dengan tidak adanya pendidikan, maka kemungkinan orang tersebut untuk bertoleransi juga bisa dipastikan sangat minim. 

Krisis toleransi di Indonesia dapat diperangi dengan pemberian subsidi yang cukup kepada orang-orang yang kurang mampu. Dimulai dari pemberian subsidi pendidikan, akan dapat menunjuang seseorang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak dan perekonomian yang lebih mapan bagi setiap individu. Dengan hal hal tersebut, maka dengan sendirinya akan terbentuk suatu lingkungan yang lebih harmonis yang lebih baik, di mana lingkungan tersebut adalah suatu faktor terpenting dalam pembentukan sikap toleransi dalam diri seseorang.